Jangan Salah Pilih

Cerita dan pesan dari warung kopi

manusia_dan_topeng
Ilustrasi.

WARUNG di perempatan jalan itu kerap menjadi tempat pertemuan/kongkow-kongkow beberapa orang beda generasi. Saling menyapa, sekedar guyon, menceritakan pengalaman hidup hingga hal-hal serius sering menjadi topik perbincangan.

Walau beda usia dan beda strata sosial, perbincangan mengalir selayaknya masyarakat lain di kampung-kampung ketika berkumpul membicarakan, berdebat tentang masalah sosial, kebijakan politik pemerintah dan lain-lain. Yah, pokoknya bagaikan para politisi dan pengamat sosial politik. Heheheee…


Sore itu, kebetulan aku singgah dan nimbrung mendengar dengan sesekali meladeni pembicaraan yang selalu topiknya berganti – tergantung siapa yang berbicara dan dari sudut pandang mana – sehingga sering tak fokus dan melebar.


Setelah sekitar satu jam, gelap mulai datang, lampu jalan secara otomatis menyala, beberapa orang pamit sebentar dengan janji akan kembali. Sejenak yang tersisa duduk diam. Masing-masing menikmati sebatang rokok yang terselip di jari tangan. Kepulan asap putih seolah menambah inspirasi. Mungkin begitulah cara mereka menikmati hidup dengan romantika dan dmasing-masing.


"Taon depan torang mo ba pilih anggota de-pe-er deng presiden kata kang? Dengar-dengar ini so taon politik," ucap lelaki tua berusia sekitar 65 tahun yang duduk dipojok memecah keheningan.


"Butul. Taon ini, 2023, sampe taon depan 2024, adalah taon politik," jawab anak muda yang duduk di tengah, seraya meneguk kopi hitam dicangkir yang sudah dingin.


Tahun 2024 memang akan dilaksanakan 2 Pemilihan Umum, yakni Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden (Pilpres). 


Di tahun politik biasanya muncul orang-orang yang tiba-tiba pintar dan cerdas. Pintar dan cerdas bicara politik, sosial kemasyarakatan, pemerintahan, pembangunan, keamanan, pertahanan dan lain-lain. Mereka ada yang tampil bagaikan pakar alias pengamat, dan ada pula yang tampil sebagai tim sukses dari calon-calon tertentu.


Di tahun politik, tingkat kekritisan seseorang meningkat.

Isu, konsep dan gagasan berbentuk janji kampanye yang disodor tim sukses, simpatisan dan pendukung fanatik, menjadi bahan pergunjingan rakyat. Pergunjingan selanjutnya menyentil sosok (pribadi) mereka yang mencalonkan diri sebagai anggota DPD, DPR RI dan DPRD provinsi, kabupaten maupun kota.

***

Versi pendukung calon, rakyat selaku pemilih disodorkan berbagai hal yang indah alias janji-janji. Itu kemudian yang dibahas hingga diperdebatkan.

***

Sebagian besar yang menjadi calon wakil rakyat datang dari kaum berpunya (materi). Kaum 'The Have' inilah yang didekati para petinggi partai politik (parpol).


Karena mungkin jika mencalonkan orang tidak berpunya (materi) mereka kuatir tidak laku dijual. Kendati sosok itu disukai karena merupakan pribadi yang dekat dengan rakyat dari berbagai macam strata.


Walau tak dipungkiri ada segelintir calon dari kaum 'The Have' yang dekat dengan rakyat kecil. Apakah sudah pembawaan, bukan disetting, atau karena disetting.


Panggung politik ajang mencitrakan diri. Banyak yang menjadi pribadi merakyat dihadapan rakyat. Mereka menjadi pribadi-pribadi hebat dengan lontaran janji yang dibalut kata dan kalimat-kalimat indah lengkap dengan akan komitmen.


Rakyat pemilik suara kerap berdebat, berselisih pendapat bahkan bertengkar karena membahas keindahan janji yang dikampanyekan. Tak mau kalah pendapat, keras hati karena fanatik sehingga kerap berucap:

"Saya akan pilih si anu karena dia merakyat dan komitmen".

"Dia sering membantu disaat saya susah. Jadi saya akan pilih'.

"Dia banyak uang"

'Dia keluarga dekat"

"Dia teman saya"

"Dia sudah pengalaman, karena sudah berkali-kali terpilih"

"Torang kwa satu kampung"


Yang lain, berucap:

"Dia tidak merakyat. Nda bergaul"

"Dia nda ada doi"

"Dia banya doi, mar koncudu/rindi"

"So kapok mo pilih pa dia, serta jadi dia lupa pa torang"

"Nda ba sudara"

"Kita nda kenal"


Dan, karena, karena, karena serta alasan-alasan yang disampaikan dengan argumen.


Itulah keluguan dan fanatisme rakyat tertentu yang dimanfaatkan mereka yang menjadi calon (politisi). 


Guna mencitrakan diri dan untuk meraup suara dibuatlah pertemuan-pertemuan, apakah itu dikemas dengan rukun keluarga maupun kegiatan lainnya.


Melakoni pencitraan sang calon didampingi politisi lainnya bersama tim sukses tak segan turun ke pasar tradisional, duduk di warung kopi bahkan bercengkrama dengan rakyat di emperan toko dan perempatan/pertigaan pinggiran jalan.

Topik bahasan jika dirinya terpilih, dia akan membawa perubahan, dengan demikian masyarakat akan sejahtera, pembangunan akan maju, pendidikan, kesehatan akan makin baik dan lain-lain.


Sementara tim sukses bergerilya sambil mendengungkan janji jagoannya sebagai calon. 

Pilih, nanti akan diberikan sembako dan amplop.


Disinilah kemudian kewarasan diuji.

* Kewarasan kita sebagai pemilik suara/pemegang kedaulatan.

* Kewarasan calon yang akan menjadi wakil rakyat.

* Kewarasan tim sukses.

Apakah sembako dan amplop akan mengalahkan logika berpikir tentang siapa sebenarnya yang paling layak menjadi wakil rakyat.


Jangan sampai dikemudian hari kita berucap:

"Adoh, so salah pilih!" ***

0 Komentar