Gempita Tahun Politik

 Jelang Pemilihan Legislatif, Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah

catatan_politik
Ilustrasi.
MESKIPUN penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg), Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) serta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) nanti diselenggarakan tahun 2024, namun gempitanya telah terasa di tahun 2023 ini. Tahun politik itu kata banyak orang.

Di tahun politik ini, para kandidat bersama tim sukses (tim pemenangan), relawan/simpatisan mulai memainkan beragam lakon. Konstituen maupun mereka yang belum punya hak pilih hanya mengikuti alur cerita yang dimainkan. Ada yang emosional, tenang-tenang saja, percaya diri, sibuk, pura-pura sibuk dan lain-lain.

Janji-janji manis dan keindahan dikemas dan disodorkan kepada masyarakat pemilih. Para pelakon dengan menggunakan topeng indah memainkan kata-kata baik lisan, tulisan hingga audio visual (video). Tak ada keburukan pada diri sendiri. Yang dilihat hanya keburukan pesaing. Kendati sedikit-sedikit saling memuji dan mengakui.

Fenomena ini terlihat di dunia nyata maupun dunia maya (media sosial). Di alam nyata, paling jelas terlihat baliho beragam warna terpampang di kiri dan kanan jalan raya. Di alam maya (medsos) lebih ‘ganas’ lagi. Para netizen dengan akun asli dan palsu tuding-menuding, kendati tak dipungkiri ada juga yang mencoba menjadi akun ‘bijaksana’.

Visi, misi dan program menjadi bahan pembahasan dan pembulian. Di dunia nyata, masyarakat berdebat tanpa mempelajari visi, misi dan program calon. Hal sama dan (mungkin) lebih parah lagi terjadi di dunia maya (medsos).

Itulah fenomena janji manis yang sudah menjadi bagian dari permainan politik praktis. Janji manis yang telah diramu inilah yang kemudian disukai masyarakat, sehingga ujung-ujungnya mereka bersimpati, bergabung atau menetapkan pilihan ke kelompok tertentu. Walaupun tidak sedikit mereka yang menetapkan pilihan hanya berdasarkan fanatisme dan loyalisme kepada figur tertentu.

Parahnya lagi, isu money politics (politik uang), sembako (sembilan bahan pokok) hingga netralitas ASN (Aparatur Sipil Negara) masih mewarnai perhelatan demokrasi ini.

Nah, apakah Pileg, Pilpres dan Pilkada 2024 akan memberikan suguhan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat selaku kontituen?

Para calon bersama partai politik (parpol) dan tim sukses serta relawan seharusnya bertanggung jawab memberikan pendidikan politik yang baik. Apalagi parpol yang menjadi kendaraan untuk bisa duduk di DPR RI dan DPRD provinsi, kabupaten, kota. Kader-kader parpol yang tersebar dari pusat hingga desa/kelurahan lebih bertanggung jawab memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat.

Ingat, di tahun politik ini masyarakat dari berbagai elemen ramai menggunjingkan tentang parpol beserta para calon yang diusung bertarung pada Pileg, Pilpres dan Pilkada.

Bagaikan pemerhati bahkan pengamat (komunikasi) politik mereka membahas politik di warung, perempatan/pertigaan jalan maupun rumah kopi. Perdebatan kerap mewarnai diskusi-diskusi mereka.

Mereka itulah rakyat, ada yang sekedar mengamati/memperhatikan, ada yang telah menjadi simpatisan, relawan bahkan telah menjadi politisi (pengurus di kelurahan/desa atau kecamatan dan tingkatan selanjutnya).

Di sisi lain, para politisi (level tinggi) yang kabarnya berduit memainkan peran mereka sesuai level masing-masing. Para politisi ini ada yang nyaman sebagai kepala daerah (kota/kabupaten/provinsi), menjadi wakil rakyat di DPR RI, DPRD provinsi, kabupaten, kota juga DPD RI.

Tak mau kalah para aktor politik yang belum menjadi top eksekutif atau wakil rakyat. Tak jarang mereka mengambil peran agar bisa mempengaruh kebijakan internal partai politik atau kebijakan eksekutif dan dan legislatif.

Lalu apa hubungannya antara politisi level tinggi ini dengan politisi bawahan dan dengan rakyat yang sekedar suka-suka membincangkan politik.

Di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Saat Pileg, Pilpres maupun Pilkada – mereka yang terpilih menjadi pemimpin (eksekutif) maupun duduk sebagai wakil rakyat (legislatif) karena dipilih rakyat.

Ketika tahapan Pileg, Pilpres dan Pilkada bergulir para politisi melalui kaki tangannya di masing-masing daerah mulai mencitrakan diri.  Hal ini guna menuai dukungan. Pengenalan diri yang dilakukan politisi tentunya berongkos. Berapa? Tanyakan ke masing-masing politisi yang ada di daerah masing-masing. Heheheee…

Pileg, Pilres dan Pilkada menjadi ajang ‘pertarungan’ politisi dari berbagai warna. ‘Pertarungan’untuk meraup suara rakyat sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara. Salah satu isunya adalah politik uang.

Lalu, apakah hanya karena uang kemudian parpol dan politisinya dapat meraup suara sebanyak-banyaknya dan memenangkan Pileg, Pilpres dan Pilkada?

Parpol lewat para politisinya sebenarnya mengemban tugas memberikan pendidikan politik ke masyarakat dan konstituennya masing-masing. Di internal parpol, para politisi diberi pelatihan dan pendidikan kepemimpinan. Sebagai kader parpol (politisi) mereka memahami platform organisasi, Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah Tangga (ART) dan peraturan turunannya hingga visi misi dan program-program parpol baik secara nasional maupun di daerah.

Sayangnya dari beberapa perhelatan politik praktis yang telah berlangsung, data dari berbagai lembaga menyebut terjadinya politik uang sangat kental. Pendidikan politik diinternal parpol yang kemudian turun ke konstituen/masyarakat masih dipertanyakan banyak kalangan.

Rakyat selaku pemilik suara dibuai dengan politik uang, sembako dan lain-lain. Visi misi dan program jadi nomor dua.

Banyak kalangan berharap, parpol dan politisinya kembali memainkan peran elok dengan memberikan pendidikan politik yang benar kepada konstituennya. Politik uang, sembako dan isu SARA harus diharamkan.

Sementara ada warga yang mengaku jika ditawarkan (uang, sembako dan lain-lain) akan diambil. Apakah nanti akan memilih atau tidak memilih si pemberi itu urusan nanti. Lalu, mengapa ada yang menerima dan apakah ada yang menolak politik uang/sembako? Mungkin ini terkait dengan keadaan ekonomi dan finansial masing-masing. Atau karena gaya hidup yang hedonism.

Karena suara rakyat ketika Pileg, Pilpres dan Pilkada for sale, akibatnya ketika politisi terpilih di eksekutif atau legislatif, menganggap sudah lunas. Pemilih tak bisa menuntut lagi. Apalagi yang tidak memilihnya.

Lalu, apakah rakyat pemilik suara berani menolak politik uang/sembako? Di sini seharusnya parpol dan politisinya juga jangan menawarkan. Apalagi dibagi-bagikan cuma-cuma dengan misi terselubung, yakni kepentingan pribadi dan kelompok.

Mirisnya lagi, ketika suara rakyat sudah dianggap terbayar lunas dengan politik uang dan sembako, masih ada kelompok-kelompok yang menganggap elite – karena merasa dekat politisi yang terpilih -. Aktor-aktor ini kemudian memainkan cara-cara agar bisa meraup keuntungan, seperti minta jatah proyek, minta keluarga atau kerabatnya dapat menjadi tenaga honorer di instansi tertentu, meminta bantuan ketika ada acara, bahkan menyodorkan proposal kegiatan tertentu (nyata atau fiktif).

Politisi yang terpilih – duduk di eksekutif atau legislatif – pada akhirnya kerap mengeluhkan banyaknya permintaan sumbangan yang masuk. Belum lagi ketika dirinya harus memenuhi undangan-undangan dari berbagai elemen masyarakat. 

Dapatkah kemudian politik uang/sembako hilang ketika perhelatan Pileg, Pilres dan Pilkada? Lagi-lagi harus ada kesadaran dari parpol melalui politisinya dan masyarakat selaku pemilik suara. Jangan menawarkan dan masyarakat juga jangan menerima. ***


0 Komentar